Prabowo Berencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza: Mengapa Rencana Ini Dinilai Sebagai Kesalahan Besar?

Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina yang menjadi korban konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza menuai kontroversi besar. Para pengamat melihat hal ini sebagai kesalahan strategis yang dapat menyebabkan demonstrasi baik dari dalam maupun luar negeri.
Pakar urusan geopolitik Timur Tengah, Smith Alhadar, mengingatkan bahwa Prabowo perlu waspada terhadap kemungkinan unjuk rasa di dalam negri. Dia menjelaskan alasan utamanya adalah karena ide kontroversial tersebut timbul saat warga Indonesia sudah gelisah akibat sejumlah persoalan ekonomi serta politik.
"Ini malah membayangi kedaulatannya. Mungkin akan ada unjuk rasa massal. Ia berpotensi membuat kesalahan saat masyarakat sedang resah," kata Smith.
Di atas segalanya, skema milik Prabowo ini ditakuti akan mengundang protes internasional. Pemindahan penduduk di Gaza dipercaya mungkin meredam aspirasi kemerdekaan Palestina. Sampai saat ini belum ada jaminan bagi para pengungsi Gazadanarakan untuk dapat pulih dan kembali ke wilayah aslinya.
Menteri Luar Negeri Sugiono mengungkapkan bahwa skema pengungsian ini tidak bermakna sebagai pemindahan tetap.
Akan tetapi, Smith masih meragukan hal ini karena Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik. Oleh sebab itu, kedua negara tersebut tidak dapat membuat kesepakatan resmi yang mengikat untuk memastikan orang dari Gaza tersebut akan dikembalikan.
Kenapa rencana tersebut menuai pro kontra dan apa yang membuat Indonesia berpartisipasi?
Isu tentang kemungkinan Indonesia menerima penduduk Gaza mulai berkembang pada tanggal 19 Januari yang lalu.
Pada waktu tersebut, Israel dan Hamas sedang berada di tahap awal dari tiga langkah dalam proses rujukan yang difasilitasi Amerika Serikat.
Saat mereka menegosiasikan fase berikutnya, Amerika Serikat juga mulai merencanakan solusi jangka panjang bagi konflik tersebut, di antaranya adalah usaha untuk memulihkan Jalur Gaza yang telah rusak parah karena peperangan.
"Bila kami tak membantu rakyat di Gaza, bila kami tak memperbaiki kehidupan mereka, dan bila kami tidak menyodorkan harapan, maka pemberontakan ini akan terus berlanjut," demikian kata seorang petugas mengenai penyelesaian konflik transisional. NBC .
Sejak saat itulah muncul gagasan untuk merelokasi terlebih dulu warga Gaza. Alasannya, Gaza tidak aman untuk dihuni selagi proses pembangunan berlangsung.
Berdasarkan pemberitaan NBC, Indonesia merupakan salah satu negara yang dipertimbangkan untuk menjadi lokasi tujuan relokasi.
Meskipun demikian, berdasarkan laporan NBC, sejumlah besar orang percaya bahwa perpindahan ini hanyalah sebuah alasan yang dibuat oleh Israel untuk memaksa warga Palestina meninggalkan wilayah mereka. Mereka khawatir di masa depan Israel tidak akan memberikan izin bagi penduduk Gaza untuk kembali ke rumah masing-masing.
Setelah berita oleh NBC tersebar, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengungkapkan bahwa pemerintah tak pernah mendapat kabar apapun tentang rencana pemindahan tersebut.
"Indonesia secara kaku menegaskan pandangannya bahwa setiap usaha untuk mentransfer penduduk dari Gaza sama sekali tidak bisa dibenarkan," seperti yang disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri pada waktu itu.
"Upaya untuk mengurangi penduduk Gaza hanya akan mempertahankan pendudukan ilegal Israel atas wilayah Palestina dan sejalan dengan strategi yang lebih besar yang bertujuan untuk mengusir orang Palestina dari Gaza," demikian pernyataan tersebut.
Di awal bulan Februari, Trump mengajukan kembali hal tersebut. usul kontroversi jika Amerika Serikat mengambil kendali atas Gaza. Sesuai dengan proposal tersebut, penduduk di Gaza akan dipindahkan ke tempat lain dan tidak dapat pulang lagi.
Inisiatif tersebut mendapat kritikan dari sejumlah kelompok, bahkan ada yang datang dari dalam negara AS. Kemudian, Trump beberapa kali merombak pernyataan-pernyataannya, menyebabkan kebingungan di kalangan publik.
Hingga akhirnya pada Februari, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan , "Jika negara-negara Arab punya rencana yang lebih baik, itu bagus."
Segera kemudian, Mesir mengusulkan rencana konstruksi di Gaza tanpa harus memindahkan penduduknya lebih dahulu.
Pada tanggal 4 Maret, anggota Liga Arab menunjukkan persetujuan mereka terhadap proposal yang diajukan oleh Mesir saat rapat di Cairo.
Tiga hari setelahnya, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pun menyetujui usulan yang diajukan Mesir. Menteri Urusan Luar Negeri Indonesia, Sugiono, turut serta dalam rapat OKI tersebut.
Meskipun demikian, Amerika Serikat dan Israel dikabarkan tetap berupaya mencari negara ketiga, lebih spesifik lagi di wilayah Timur Tengah dan Afrika, untuk menerima penduduk dari Gaza, namun belum ada negara yang setuju melakukannya.
Pada tanggal 26 Maret, media di Israel, Channel 12 Melaporkan bahwa rombongan pertama warga Gaza yang berjumlah 100 orang akan diterbangkan ke Indonesia guna mendukung pindah dengan kesadaran sendiri.
Berdasarkan laporannya, penduduk-penduduk tersebut diyakini akan dipergunakan dalam sektor pembangunan. Israel menginginkan agar proyek ini sukses dengan harapan bahwa kelak ribuan orang dari Gaza juga ingin bermigrasi ke Indonesia.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sekali lagi menyangkal pelaporan itu.
"Pemerintah Indonesia tidak pernah membahas dengan pihak mana pun atau pun mendengar informasi tentang rencana pemindahan warga Gaza ke Indonesia yang disebut oleh beberapa media asing," demikian pernyataan Kemlu.
Meskipun begitu, pada hari Rabu (9/4), Prabowo secara mendadak menyatakan bahwa Indonesia bersedia untuk menerima 1.000 orang dari Gaza dalam tahap awal ini.
"Kita bersiap untuk mengevakuasi orang-orang yang cedera, individu-individu yang menderita trauma, anak-anak janda-duda, serta siapa saja yang ditunjuk oleh pemerintah Palestina dan entitas-entitas terkait lainnya sebagai kelompok yang harus dievakuasi ke Indonesia, kita akan mengirimkan pesawat-pesawat guna membawa mereka," ungkapnya.
Prabowo menyebut beberapa ketentuan untuk operasi evakuasi tersebut. Yang pertama, seluruh pihak yang berkepentingan perlu mencapai kesepakatan. Dan kedua, mereka akan difasilitasi secara sementara di Indonesia saja.
"Di tempat ini, mereka hanya berada untuk sementara waktu hingga pemulihan kesehatannya lengkap. Setelah kesembuhannya tercapai dan situasi di Gaza menjadi menguntungkan, mereka perlu kembali ke wilayah asal mereka," jelasnya.
Prabowo kemudian melaksanakan serangkaian kunjungan ke Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania dalam minggu ini guna membicarakan tentang rencana Indonesia tersebut.
'Tunduk pada Trump'
Setelah pengumuman niat itu, sejumlah pihak langsung mempertanyakan alasan Prabowo yang malah condong ke AS dan Israel, bukan membela Palestina. Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut mempertanyakan rencana itu.
"Pertanyaannya untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut?" kata Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas, dalam pernyataan yang dirilis di situs resmi organisasi itu.
Di dunia digital, banyak pengguna internet juga berspekulasi bahwa skema ini adalah metode Prabowo untuk "mendekati" Presiden Donald Trump usai AS memberlakukan tariff balasan sebesar 32% terhadap produk-produk dari Indonesia.
Trump sebenarnya telah mengundurkan keputusan itu, namun Prabowo dipandang tetap harus memberikan penawaran tertentu kepada Amerika Serikat supaya kedudukan Indonesia menjadi terjamin hingga putusannya sungguhan-sungguhan final.
Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, mengatakan Prabowo mengambil kesempatan ketika Israel dan AS "panik" karena mereka sudah melobi berbagai negara untuk menampung warga Gaza, tapi tak ada yang bersedia.
Menurut penasehat dari The Indonesian Society for Middle East Studies tersebut yang berbicara dengan BBC News Indonesia, Prabowo menganggap hal ini adalah peluang untuk bernegosiasi dengan Trump dengan menggunakan Palestina sebagai alat, yakni ia bersedia menerima para pengungsi Palestina.
Smith berpendapat bahwa Prabowo harus memilih pendekatan yang berbeda dalam negosiasi dengan Trump.
Smith menyebutkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan negosiasi yang kuat, terlebih lagi dengan populasi penduduk yang besar serta posisi geografis yang strategis, berada di sekitar jalur perdagangan laut utama.
"Terdapat berbagai metode untuk bernegosiaksi dengan Amerika Serikat, mengapa perlu menempatkan nasib Palestina dalam risiko? Mengapa harus taat kepada keinginan Trump?" kata Smith.
Dia mengingatkan bahwa skema Prabowo tersebut dapat menimbulkan serangkaian demonstrasi ketidakpuasan baik dari negara lain maupun internal, hal ini malah bisa menyebabkan rezim pemerintahan di Indonesia semakin tertekan.
'Tindakan tidak etis pada masa ketidakpastian publik'
Di dalam negeri, pemerintahan Prabowo dianggap bakal terancam karena rencana ini digaungkan di tengah banyak keresahan masyarakat, mulai dari pelemahan ekonomi hingga marak pemutusan hubungan kerja.
"Justru ini yang membahayakan kedudukannya sebagai pemimpin. Kemungkinan besar akan ada demonstrasi massal. Dia bisa saja membuat kesalahan dalam situasi ketika rakyat sedang resah," kata Smith.
Tia Mariatul Kibtiah, analis Timur Tengah dari Universitas Bina Nusantara, juga menggariskan kekhawatan beberapa netizen yang mendorong pemerintah agar lebih dahulu mempertimbangkan nasib rakyatnya dalam situasi sulit secara ekonomi.
Tia bertanya tentang siapa yang kelak akan menanggung biaya hidup bagi penduduk Palestina, apakah lembaga-lembaga pembiayaan pengungsi PBB semisal UNHCR dan UNRWA, atau mungkin pemerintah Indonesia.
"Itu 1.000 manusia banyak, lho . Mereka harus di- maintain , perlu dipertimbangkan hidupnya di sini, sedangkan kondisi ekonomi kita bahkan tanpa adanya pengumuman tariff dari Trump pun telah menurun," jelas Tia.
"Lebih baik pemerintah mengurus ribuan orang yang kena PHK itu bagaimana?"
Sementara itu, sekarang ini juga masih banyak pengungsi yang terkatung-katung di Indonesia. Merujuk pada UNHCR Fact Sheet edisi Februari 2025, total 12.379 pengungsi masih menunggu kepastian di Indonesia.
Selain itu, Smith turut prihatin bahwa Indonesia mungkin akan mengalami kesulitan menangani arus besar pengungsi di masa depan, terlebih lagi sikap penolakan terhadap imigran Rohingya semakin meningkat akhir-akhir ini.
Beberapa kelompok menyuarakan penentangan terhadap Rohingya dengan alasan bahwa Indonesia belum menandatangani konvensi internasional mengenai status pengungsi, oleh karena itu mereka berpendapat negara tersebut tidak berkewajiban untuk menerima para pengungsi.
"Kami menolak Rohingnya karena kami memiliki alasan sendiri. Jika kami dengan sukacita menerima Palestina, negara-negara lain akan bertanya-tanya, mengapa kamu bersedia membantu yang berada jauh di Timur Tengah sementara Rohingya dari negeri sebelahanmu yang benar-benar membutuhkan pertolongan malah ditolak?" kata Smith.
Di penghujung pembicaraan, Smith menekankan pula bahwa dengan skema tersebut, Prabowo bisa jadi akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan undang-undang dasar Indonesia.
Sampai saat ini, Indonesia telah menolak semua jenis kolonialisme, termasuk tindakan Israel di Palestina. Menurut Smith, ide relokasi tersebut malah bisa membantu Israel untuk melanjuti upaya kolonialisnya.
"Kami memiliki sebuah undang-undang dasar yang dengan tegas menegaskan bahwa kolonialisme di seluruh dunia perlu dibersihkan dan kedaulatan merupakan hak setiap negara. Lalu, konstitusi apa yang telah kami junjung sejak dahulu?" ujar Smith.
Upaya kemerdekaan Palestina terancam pupus
Pengamat merasa prihatin bahwa Indonesia malah ikut serta dalam "pendudukan" Israel terhadap Palestina.
Setiap kali berbicara, baik Prabowo maupun Kementerian Luar Negeri menggarisbawahi bahwa apabila skenario tersebut pada akhirnya dilaksanakan, maka warganya yang berasal dari Palestina kelak akan kembali ke Gaza.
Akan tetapi, Smith tidak percaya bahwa penempatan tersebut hanyalah sementara. Sampai saat ini, belum ada pengumuman resmi dari Israel yang menyebutkan apakah penduduk Palestina tersebut akan dikembalikan ke Gaza ketika kondisinya telah mendukung.
Smith kemudian menyinggung tentang sejarah saat jutaan penduduk Palestina meninggalkan tanah asal mereka akibat digerakkan paksa oleh Israel dalam Peristiwa Nakba tahun 1948.
"Semenjak pendirian Israel pada tahun 1948, puluhan ribu jiwa telah melayangkan nyawa dan jutaan warga Palestina harus kehilangan tempat tinggal mereka, tak satupun di antara mereka diperbolehkan untuk kembali lagi," ujarnya.
Media lokal Israel, Times of Israel , juga menyinggung tentang keraguan beberapa pihak terhadap kemungkinan pemerintahannya akan mengizinkan penduduk Palestina tersebut untuk kembali. Oleh karena itu, tidak ada negara di sekitarnya yang bersedia menerimanya.

Sejumlah negara, seperti Mesir, Turki, Qatar, dan Uni Emirat Arab memang menerima warga Gaza korban perang yang membutuhkan perawatan medis.
Namun, Smith menekankan bahwa negara-negara bersangkutan setuju untuk menerimanya karena telah menandatangi perjanjian tertulis yang jelas tentang pengembalian hak warga Palestina di kemudian hari.
"Perjanjian ini terwujud lantaran Mesir dan Israel sudah mengakui hubungan bilateral mereka sejak tahun 1979, sedangkan antara Indonesia dengan Israel belum ada ikatan diplomatis," jelasnya.
Smith menegaskan pentingnya bagi pemerintah Indonesia untuk berhati-hati terhadap niat Israel.
"Kekhawatiran utamanya adalah rencana untuk mengangkut penduduk Gaza ke Indonesia yang sebenarnya merupakan strategi dari Israel dan Amerika Serikat—yang tentu saja sudah dipahami oleh Indonesia—dengan tujuan membuat sebuah preseden," ungkap Smith.
Bila Indonesia membuka pintunya, negara-negara Muslim lainnya akan kehilangan alasan untuk menolak penerimaan warga Gaza.
Menurut Tia, agar Indonesia bisa memberikan kontribusinya, akan lebih efektif untuk mengirim tenaga medis seperti dokter beserta dukungan kesehatan kepada Mesir dan negera-negara lain yang menerima pengungsian dari Jalur Gaza akibat peperangan.
"Masuk akal begitu? Jarak antara Indonesia dan Palestina sangat jauh. Mengapa harus peduli?" katanya.
Tia juga menganggap tidak masuk akal ketika pemerintah menyatakan mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, tapi malah merelokasi warga Gaza dari tanahnya.
"Cobalah bayangkan jika dahulu kami ditaklukkan oleh Belanda, lalu negara lain ingin membantu dengan memindahkan kami ke Eropa. Bukannya itu yang harus terjadi," kata Tia.
Tia kemudian menyebutkan bahwa saat itu, beberapa negara lain seperti Palestina, secara bersama-sama menyetujui kemerdekaan Indonesia.
Menurut Tia, saat ini Indonesia harus bersama-sama dengan lebih dari 100 negara lainnya yang mendukung kemerdekaan Palestina dalam menggalang kekuatan tersebut untuk memberikan tekanan. two-state solution .
"Sekarang ini haruslah tindakan yang diambil. Ingat, dahulu Palestina pernah mendukung kemerdekaan Indonesia," ujarnya.
- Israel menggelar serangan masif terhadap Gaza dengan lebih dari 330 korban meninggal dilaporkan.
- Satu tahun usai pertikaian antara Hamas dan Israel di Gaza, wilayah Timur Tengah siap terjerumus ke dalam peperangan yang semakin ekstensif, mendalam, serta meratakan segalanya.
- Para sejarawan menolak penggunaan istilah "negara Inggris" di Indonesia - 'Meremehkan Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales'
- Presiden Prabowo memilih jalan perundingan daripada menghadapi balasan tarif dari Trump
- Trump menangguhkan keputusan tariffnya terhadap Indonesia serta banyak negara lain selain China dan beberapa negara yang dianggap sebagai 'musuh utama'.
- Sepatu Nike yang diekspor ke Amerika Serikat sebagian besar dibuat di Indonesia serta beberapa negara Asia lainnya. Apa efek dari penerapan tariff oleh Trump kepada penjualan Nike?
- Mengapa negara-negara di Timur Tengah tidak membantu Palestina?
- Trump berkeinginan mengambil kendali atas Gaza dan memindahkan penduduk Palestina, bagaimanakah respons dunia Arab dalam merestruktur ulang Gaza?
- Mengapa Trump berkeinginan untuk merebut Gaza dan apakah hal itu mungkin dilakukan olehnya?
Posting Komentar untuk "Prabowo Berencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza: Mengapa Rencana Ini Dinilai Sebagai Kesalahan Besar?"
Posting Komentar