OPINI: Ketimpangan Harga dan Prinsip Perdagangan Adil

menggapaiasa.com, JAKARTA - Tarif impor yang diberlakukan pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump senilai 32% atas barang ekspor Indonesia dapat meningkatkan biaya produksi dan mendorong para produsen untuk mengubah skala operasi mereka. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan.

Setelah implementasi aturan harga terbaru oleh Amerika Serikat, pengiriman produk dari Singapur ke sana meningkat dengan cepat. Hal ini bukan disebabkan oleh lonjakan dalam produksi atau menjadi pengekspor primer untuk jenis barang tersebut.

Kenaikan tersebut terjadi lantaran beberapa negara ASEAN seperti Indonesia dan Vietnam lebih memilih untuk merute ulang ekspornya lewat Singapura, tempat tarifnya hanya sebesar 10%, berbanding jauh dengan tarif antara 32% hingga 49% di negeri asal mereka. Dalam hal ini, Singapura bertindak sebagai perantara perdagangan tanpa menyumbangkan penambahan nilai apa pun; ia hanya digunakan sebagai rute alternatif guna mengelak dari biaya tariff yang tinggi.

Singapura bisa memainkan peran sebagai mediator perdagangan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi atau penambahan nilai. Dapat dikatakan bahwa Singapura bertindak layaknya "makelar resmi" ASEAN dalam jaringan perdagangan global. Arus perdagangan juga ikut bergerak demikian: produk-produk dari para pembuat barang seperti Indonesia serta Vietnam atau Thailand harus melewati rute yang lebih mahal untuk menghindari bea masuk yang tinggi.

Pergantian jalannya transportasi melalui Singapura tidak meningkatkan efisiensi, malah bertambahnya beban pada biaya logistik, membuat periode pengiriman menjadi lebih lama, serta mengurangi tingkat kinerja dalam rangkaian suplai. Ini bukanlah suatu taktik perdagangan sebab hal tersebut justru menciptakan perubahan tak terduga dalam perekonomian dan kesenjangan antar wilayah.

Phenomenon ini mengungkap kesenjangan signifikan dalam struktur tariff dan mengerucutkan pentingnya perombakan pada sistem perdagangan agar menjadi lebih adil serta efisien.

Menurut data dari Biro Sensus Amerika Serikat, impor negara tersebut dari Singapura di bulan Januari 2025 tercatat senilai US$4,37 miliar. Sedangkan laporan Reuters menyatakan bahwa produksi industri Singapura mengalami pengurangan sebesar 1,3% ketika dibandingkan dengan periode yang serupa pada tahun sebelumnya dalam bulan Februari 2025.

Data tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan ekspor dari Singapura ke AS kemungkinan besar disebabkan oleh pengalihan jalur ekspor dari negara-negara Asean lainnya melalui Singapura, bukan karena peningkatan produksi domestik.

Dalam konteks perdagangan antarnegara, negara-negara dengan ekonomi besar umumnya memiliki posisi tawar menawar yang lebih kuat dan dapat membahas syarat bea masuk yang lebih menguntungkan bagi mereka sendiri. Di sisi lain, negara sedang berkembangkan biasanya terbatasi pada peran sebagai penonton dalam pembicaraan tersebut, sehingga kurang mendapatkan keuntungan sebanding dari struktur perdagangan global saat ini.

Sayangnya, di tengah kompleksitas ini, negara-negara Asean justru lebih sering memilih jalur perundingan dagang secara individual. Alasannya lebih karena fleksibilitas. Namun, integrasi ekonomi regional menjadi patut dipertanyakan.

Model praktik seperti ini justru menurunkan kekuatan negosiasi ASEAN secara menyeluruh serta bisa merusak inti dari visi pendirian Komunitas Ekonomi ASEAN (CEA). Tujuannya adalah meningkatkan kolaborasi ekonomi di antara anggota regional, menciptakan ASEAN sebagai satu pasar dan basis produksi yang terintegrasi dengan baik, serta menjadikan wilayah tersebut lebih bersaing.

Ketika masing-masing negara melakukan perundingan secara mandiri, dalam tata kelola perdagangan global dapat berpotensi menciptakan ketimpangan dan fragmentasi kebijakan di antara negara-negara anggota. Sebaliknya, jika pendekatan perundingan dilakukan secara kolektif maka dapat memberikan kekuatan yang lebih besar terutama bagi negara Asean.

Dalam hal ini Uni Eropa dapat dijadikan sebagai parameter, yang mana kebijakan dagang dijalankan secara terkoordinasi dan berbasis pada kerangka hukum yang mengikat.

Walau pendekatan integrasi ASEAN memiliki perbedaan, namun ide dasar serta daya tawar bernegosiasi bersama tetap penting untuk diterima. Di tengah iklim geopolitik dan ekonomi dunia yang semakin kompetitif, memperkokoh kerjasama antarnegara dalam kawasan menjadi suatu keharusan strategis, tidak hanya sebatas sebagai aturan formal saja.

Seiring dengan berlangsungnya proses globalisasi, efisiensi biasanya dijadikan pedoman pokok yang mendorong perpindahan produk, layanan, dan modal antar negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya, konsep efisiensi tersebut acapkali dimanfaatkan untuk mengeksploitasi kelemahan dalam aturan tariff dan regulasi perdagangan dunia. Beberapa negara atau bisnis spesifik sengaja memilih rute ekonomi yang lebih rumit hanya guna mengelakan biaya pajak.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah sistem perdagangan global saat ini tetap berfokus pada pencapaian keadilan dan efisiensi?

Saat struktur tariff dan perjanjian perdagangan dieksploitasi dengan cara tidak setimbang, hasilnya bukan saja tak menghasilkan persaingan yang adil, tetapi juga menciptakan distorsi yang merugikan bagi negara-negara sedang berkembang serta semakin memperlebar kesenjangan global. Jika tanpa ada upaya merekonstruksi dan kerjasama kebijaksanaan yang kuat, ASEAN hanya akan memiliki pengaruh simbolis di tengah lingkungan ekonomi global yang kian bersaing sengit dan terpecah-belahkan.

Karena itu, kebijakan tersebut dievaluasi kembali dan direvisi dengan fokus pada aspek-aspek transparansi, keadilan, serta berkelanjutan.

Struktur tarif dan jalur logistik antarnegara harus segera ditinjau ulang agar tidak mencederai semangat integrasi, termasuk sistem yang memungkinkan peralihan jalur hanya demi menghindari tarif, bukan karena alasan produksi atau efisiensi.

Rekonstruksi ini penting agar perdagangan internasional tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi menjadi instrumen pembangunan yang inklusif dan efisien secara sistemik.

Posting Komentar untuk "OPINI: Ketimpangan Harga dan Prinsip Perdagangan Adil"