"Negara yang Masih Pakai Hukuman Mati adalah Negara Terisolasi"

Persoalan pidana mati di Indonesia kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto mengisyaratkan ketidaksetujuannya terhadap jenis hukuman ini. Meski tak secara eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya, pernyataan Prabowo menjadi angin segar bagi Amnesty International Indonesia yang sejak dulu mengkampanyekan penghapusan hukuman mati di Indonesia.

Juru bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, bahkan menyebut bahwa negara-negara yang masih mempertahankan pidana mati adalah negara yang terisolasi. Pasalnya, pihaknya menilai hukuman ini sudah tidak relevan dan tak menempatkan hak hidup sebagai prinsip utama yang harus diperoleh manusia.

"Angka terakhir itu per 2024 itu ada sekitar 113 negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi sudah mayoritas negara-negara di dunia. Makanya Amnesty menganggap bahwa negara-negara yang masih menghapuskan hukuman mati, ini adalah negara-negara yang terisolasi," ujar Haeril kepada Tirto.

Oleh karenanya, dia menilai Indonesia memiliki pilihan untuk mempertahankan status quo saat ini atau mengikuti perkembangan global dengan memberikan jenis hukuman lain.

Berikut obrolan Tirto dengan Haeril Halim di podcast For Your Politics:

Melihat pernyataan Prabowo Subianto yang tak setuju terhadap hukuman mati, apakah ini bisa jadi angin segar bagi Amnesty International?

Kami melihat statement Pak Presiden tersebut dari aspek bahwa sebenarnya ada kecemasan dari sisi pemerintah terkait penggunaan hukuman mati ini, khususnya eksekusi mati. Berarti statement Prabowo tersebut mencerminkan bahwa sebenarnya ada permasalahan nih dalam implementasi hukuman mati di Indonesia.

Kedua, memang kalau dari Amnesty sendiri memang kita sudah berkampanye puluhan tahun untuk menghapuskan hukuman mati di seluruh dunia. Dan memang salah satu modal utama untuk menghapuskan hukuman mati itu adalah sikap politik dari pemimpin tertinggi di suatu negara.

Contoh yang paling dekat yang bisa kita lihat yang baru-baru ini beberapa tahun terakhir itu di Meksiko dan Mongolia. Dimana penghapusan hukuman mati secara menyeluruh di negara tersebut itu diawali oleh sikap presidennya atau sikap kepala negara yang tidak setuju terhadap penggunaan hukuman mati. Dan kalau kita mau melihat ke belakang rekam jejak pemerintah terkait hukuman mati, ini sebenarnya tidak berawal dari statement Prabowo minggu lalu. Kita melihat sebelumnya itu ada pemulangan narapidana mati ke negara asal masing-masing, Mary Jane dan Serge [Atlaoui]. Serge ke Perancis, Mary Jane ke Filipina. Itu sebenarnya mereka yang terjerat hukuman mati di Indonesia. Dan harusnya dieksekusi di Indonesia dan dipulangkan oleh pemerintah Indonesia. Jadi sebenarnya secara tidak langsung ada sikap dari pemerintah Indonesia bahwa mereka sudah tidak mau lagi melaksanakan hukuman mati. Makanya mereka dipulangkan ke negaranya. Itu yang pertama.

Jadi statement ini sebenarnya tidak ujuk-ujuk keluar, tapi ada indikasinya yang kita bisa lihat ke belakang. Cuman memang idealnya kalau dari perspektif amnesti pada saat itu idealnya harusnya hukuman mereka dulu dikomutasi, baru dipulangkan ke negaranya, agar komitmen Indonesia terhadap asasi manusia itu bisa lebih jelas.

Oleh karena itu, kita melihat kebijakan ini masih kebijakan parsial. Pertama, tidak mengubah sikap Indonesia tentang hukuman mati. Tapi, di sisi lain, itu memang membuat kedua terpidana tersebut lolos dari jeratan eksekusi mati. Jadi ini sebenarnya ada indikasinya awalnya.

Pernyataan Prabowo diklarifikasi oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Bagaimana melihat pernyataan lanjutan Yusril?

Kami melihatnya sebenarnya klarifikasi tersebut terlalu terburu-buru untuk dibuat. Harusnya setelah ada statement Pak Prabowo tersebut, harusnya ada diskusi internal antara Pak Prabowo dengan pembantu-pembantunya. Dalam hal ini menteri-menterinya termasuk Menko Yusril. Terkait apa sih sebenarnya yang diinginkan oleh Kepala Negara dalam hal ini? Setelah diskusi mendalam tersebut, barulah sebenarnya bisa diungkapkan ke publik bahwa, oke, kita sudah bertemu Pak Presiden dan ternyata sikap Pak Presiden seperti ini. Tapi ini nggak. Kita ngelihat hanya berselang beberapa saat, sehari, kalau nggak salah, terus lanjut klarifikasi dari Menko Yusril bahwa hukuman mati memang tidak dihapuskan.

Dan memang nggak ada statement dari Pak Presiden bahwa hukuman mati dihapuskan. Tapi esensi dari statement tersebut adalah sikap Kepala Negara yang tidak setuju terhadap eksekusi mati dan penggunaan hukuman mati. Inilah yang harus ditindalanjuti secara konkret oleh pembantu-pembantunya, dalam hal ini Menko Yusril. Ini bisa menjadi jalan untuk Indonesia menuju penghapusan secara menyeluruh. Dan memang penghapusan ini tidak terjadi dalam satu malam. Ini bisa terjadi, benar-benar terjadi bisa beberapa tahun setelahnya. Tapi minimal ada beberapa langkah-langkah awal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menuju penghapusan total hukuman mati.

Yang pertama dilakukan adalah moratorium hukuman mati. Sekarang itu memang tidak ada hukuman mati, tapi nggak ada statement dari pemerintah bahwa kita moratorium eksekusi mati. Jadi bayangkan bagaimana mentalnya orang-orang yang dalam menunggu hukuman mati sekarang itu. Mereka was-was ini sebenarnya sikapnya pemerintah ini seperti apa? Ini resmi moratorium atau de facto moratorium?

Mungkinkah belum adanya kejelasan soal hukuman mati dipengaruhi oleh opini publik?

Memang kalau kita melihat memang dukungan terhadap hukuman mati di Indonesia itu masih kuat di masyarakat. Dan kalau dari Amnesty melihatnya ini lebih sebenarnya ketidaktahuan masyarakat mengenai efek jera yang digaung-gaungkan oleh pemerintah terkait penggunaan hukuman mati. Dan juga mereka tidak terekspos terhadap informasi-informasi, terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penggunaan hukuman mati ini.

Kalau dalam beberapa kasus itu kita melihat bahwa ada terpidana yang dipaksa untuk membuat pengakuan. Dan pengakuan yang didapatkan secara penyiksaan itu sebenarnya melanggar prinsip pretrial. Dan bayangkan gimana jika hakim memvonis mati seseorang berdasarkan pengakuan yang didapatkan lewat penyiksaan. Itu melanggar prinsip-prinsip pretrial yang harusnya dihormati di Indonesia.

Untuk kembali ke sana tadi, memang kehatian-kehatian yang ditunjukkan oleh pemerintah, khususnya dari statement Pak Yusril kemarin itu juga untuk menjaga terjadinya pro kontra di masyarakat, nampaknya. Makanya setelah statement Pak Prabowo tersebut keluar, ada semacam damage control yang dilakukan oleh Pak Yusril biar bolanya tidak kemana-mana. Karena memang dukungan publik terhadap hukuman mati di Indonesia bisa dibilang masih kuat.

Tapi sayangnya, dukungan publik yang kuat itu sebenarnya terlebih pada ketidaktahuan mereka terkait hukuman mati. Terkait permasalahan-permasalahan yang ada di hukuman mati.

Dan ingat, dalam sejarah penghapusan hukuman mati di dunia, bukan dukungan publik yang menjadi modal utama penghapusan. Jadi bahkan di negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati sekalipun itu dukungan publik masih ada yang ingin mengembalikan hukuman mati. Tapi ini lebih kepada sikap politik kepala negara yang berani mengambil keputusan bahwa hukuman mati ini melanggar hak asasi manusia. Kita harus ubah opini publik, nanti kita menjelaskan ke publik mengenai hal ini biar mereka paham. Jadi tidak harus menunggu publik bersepakat.

Berdasarkan data, mayoritas hukuman mati dijerat karena tindak pidana apa?

Kalau kasus di Indonesia itu mayoritas memang terjadi untuk kasus-kasus narkotika. Untuk tahun 2024 sendiri itu yang kemarin kita rilis itu, mayoritas dari narkotika dan selain narkotika ada juga kasus pembunuhan. Dan perlu diingat bahwa dalam aturan hukum internasional mengenai hukuman mati, yang mengatur mengenai hukuman mati, ICCPR, Covenant on Civil and Political Rights, itu mengatur mengenai aturan hukuman mati. Jadi yang disebutkan di situ adalah ini untuk most serious crime. Dan secara standar internasional, narkotika itu tidak termasuk dalam most serious crime yang diwajibkan dalam ICCPR tersebut.

Dalam ICCPR, dijelaskan terkait penerapan hukuman mati untuk kasus apa saja?

Sebenarnya dalam ICCPR itu disebutkan untuk most serious crime. Dan di sinilah celahnya sebenarnya negara-negara memanfaatkan ini. Menginterpretasikan sesuai dengan kultur dan budaya di tempat masing-masing. Di Indonesia diinterpretasikan sebagai narkoba sebagai most serious crime. Padahal menurut standar internasional itu bukan yang dibolehkan. Dan sebenarnya aturan mengenai hukuman mati di ICCPR ini bukan untuk memfasilitasi negara melakukan hukuman mati. Sebenarnya untuk membatasi negara. Seketat mungkin.

Apakah vonis mati menimbulkan efek jera setelah vonis terakhir dilakukan pada 2016? Apakah vonis masih berlanjut?

Untuk 2024 sendiri itu kita mencatat ada 85 kasus. 85 kasus yang dimana itu mayoritasnya terjadi di Pulau Sumatera, 66. Itu hakim-hakim di Pulau Sumatera itu cenderung dengan mudah menjatuhkan vonis mati dalam kasus-kasus, mungkin karena dalam hal ini banyak terjadi kasus-kasus narkotika di sana. Untuk datanya itu kita lihat di Sumatera Utara ada 21 vonis mati dijatuhkan. Di Aceh ada 10. Dan di Sumatera Selatan itu ada 7. Riau ada 7. Jambi ada 8. Dan Lampung ada 7. Begitu pun di 2023. Di 2023 itu ada 114 kasus yang dimana itu Aceh juga salah satu yang terbanyak. Aceh mencatatkan 28, Sumatera Utara 29, dan Riau 18. Jadi memang ada kecenderungan untuk vonis-vonis mati di Indonesia ini terjadi terkonsentrasi di Pulau Sumatera.

Di Indonesia, pemerintah menginterpretasikannya ke dalam aturan apa saja, vonis mati itu?

Jadi untuk di Indonesia sendiri itu dari catatan kami itu ada 13 aturan hukum yang menggunakan hukuman mati sebagai ancaman paling berat. Yang pertama itu, ya, ada di KUHP. Yang kedua ada di Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Dan yang ketiga itu ada Undang-Undang nomor 2 tahun 1951 tentang senjata api. Dan ini daftarnya panjang. Ada yang Undang-Undang tentang Psikotropika. Bahkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juga mencantumkan hukuman mati.

Selain itu ada juga Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia masih mencantumkan hukuman mati. Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Itu masih mencantumkan hukuman mati. Dan terakhir itu kalau kita lihat di Perpu nomor 1 tahun 2016. Perubahan kedua Undang-Undang nomor 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak. Itu kalau gak salah itu Perppu Kebiri ya. Pada saat itu itu masih mencantumkan hukuman mati.

Jadi makin luas spektrum penggunaan hukuman mati di Indonesia ini. Jadi, makin banyak celah yang bisa digunakan oleh pengadilan maupun hakim untuk menjatuhkan. Dan harusnya malah seiring waktu jumlah legislasi yang memuat hukuman mati ini harusnya malah berkurang. Tapi di Indonesia terakhir bertambah tahun 2016 satu aturan baru yang memuat aturan mengenai hukuman mati.

Apa langkah awal untuk menghapuskan hukuman mati?

Jadi langkah awal yang bisa dilakukan (moratorium), karena berkaca dari Mongolia sendiri ada sekitar 6 tahun proses. Sehingga benar-benar mereka voting di DPRnya mereka, parlemennya mereka voting untuk menghapuskan hukuman mati. Itu di 2016 kalau gak salah. Itu prosesnya sampai 6 tahun. Tapi setelah statement presidennya mereka bahwa mereka tidak setuju hukuman mati, lalu dilakukan moratorium besar-besaran. Jadi berkaca juga di kasus negara tetangga kita Malaysia. Mereka menghapuskan hukuman mati beberapa tahun lalu untuk pidana wajib. Jadi bukan lagi pidana wajib di Malaysia. Dan setelah itu mereka melakukan komutasi terhadap vonis-vonis mati yang telah dijatuhkan. Jadi orang-orang yang di death row ini dilakukan komutasi terhadap hukuman-hukuman mereka. Dan tahun lalu itu kami mencatat ada lebih dari seribu orang yang hukumannya dikomutasi. Jadi hukuman mati berubah menjadi hukuman alternatif lain.

Apakah memungkinkan Indonesia melakukan penghapusan hukuman mati?

Ya sebenarnya kalau pertanyaan memungkinkan ada kalimat yang bagus dari Presiden Mongolia ketika negaranya berhasil menghapuskan hukuman mati.

Jadi Presidennya Mongolia menuliskan salah satu artikel opini yang berjudul, ‘Kalau Mongolia bisa, negaramu juga bisa’. Jadi itu kira-kira pesan yang disampaikan Presiden Mongolia ketika menghapuskan hukuman mati. Dan harusnya Indonesia juga harus terinspirasi dari sana. Dalam hal ini ya Indonesia harus bisa juga mengikuti jejak Mongolia. Jadi, kalau pertanyaannya bisa atau nggak, ya harusnya bisa. Mongolia sudah membuktikan bahwa saya saja bisa, masa kamu nggak bisa, gitu.

Tapi memang penghapusan revisi legislasi 13 aturan hukum ini emang butuh waktu yang panjang. Jadi, sambil menunggu waktu, DPR dan pemerintah bergerak untuk merevisi aturan-aturan ini. Jawaban yang paling mendesak untuk dilakukan saat ini adalah moratorium eksekusi mati maupun vonis baru. Itu yang bisa dilakukan.

Para penegak hukum masih memberikan vonis hukuman mati, apakah penghapusan bisa dimulai dari pemberhentian pemberian vonis?

Sebenarnya itu soal mindset penegak hukum yang masih cenderung menggunakan pidana mati sebagai penghukuman di Indonesia. Tapi, untuk menunggu perubahan mindset tersebut itu prosesnya lama. Jadi political will dari pemimpin tertinggi di suatu negara merupakan faktor terpenting dalam hal penghapusan hukuman mati. Dalam ini ketika presiden mengumumkan, "Oke, kita lakukan moratorium. Dan moratorium eksekusi mati dan juga moratorium vonis mati."

Mau nggak mau, jajaran di bawahnya termasuk pengadilan, Mahkamah Agung, dan segala macam itu akan mengikuti sikap politik tersebut. Jadi sangat penting kita dorong sebenarnya adanya sikap politik dari seorang presiden kepala negara yang tidak setuju terhadap hukuman mati. Dan ini yang harus di-follow up oleh menteri-menterinya.

Latar belakang sejarah hukuman mati?

Dan kalau kita lihat dari sejarahnya memang aturan cikal bakal hukuman mati itu dari zaman-zaman kerajaan dulu itu memang sudah mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana yang dijatuhkan di masyarakat. Tapi kalau cikal bakal dari aturan hukuman mati yang ada di kita sebenarnya itu adalah aturan yang berasal dari zaman kolonial di Belanda. Pada saat itu tahunnya sekitar 1800, itu Gubernur Jenderal Belanda itu diberi wewenang untuk melaksanakan hukuman mati di Indonesia. Tapi, ironisnya, pelaksanaan hukuman mati di Batavia pada saat itu Jakarta itu terjadi 3 tahun setelah hukuman mati sendiri dihapuskan di Belanda.

Jadi Belanda sendiri nggak mau mengeksekusi mati warganya tapi mereka membiarkan eksekusi mati orang-orang yang ada di wilayah jajahannya. Jadi motif-motif penjatuhan hukuman mati sebenarnya udah salah dari awal. Ada motif rasial, ada pemahaman dari pemerintah kolonial pada saat itu bahwa pribumi ini nggak bisa dipercaya. Mereka suka berbohong dalam persidangan makanya kita ancam dengan hukuman yang berat, sehingga ada efek jera. Jadi mitos efek jera ini sebenarnya nggak pernah terbukti dari zaman kolonial, jadi ada kepercayaan. Dan memang tujuan Belanda pada saat itu adalah mempertahankan wilayah jajahannya. Dengan menerapkan hukuman mati ini salah satu tujuannya adalah untuk mempertahankan wilayah jajahan mereka.

Di negara lain yang sudah menghapuskan hukuman mati, apa alternatif hukuman menimbulkan efek jera ataupun perubahan perilaku?

Jadi sebenarnya efek jera ini mitos yang terus digaung-gaungkan oleh otoritas yang ada di dunia termasuk di Indonesia. Dan sebenarnya, penelitian-penelitian itu membuktikan tidak ada efek jera terhadap kejahatan dari pelaksanaan hukuman mati ini. Bahkan, di negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati, seperti Kanada, setelah menghapuskan hukuman mati, tingkat kriminalitasnya malah menurun. Jadi di contoh Kanada, kalau gak salah tahun 2000 berapa itu mereka menghapuskan hukuman mati. Itu tingkat kriminalitas di Kanada malah menurun setelah mereka menghapuskan hukuman mati. Jadi efek jera itu mitos yang sampai saat ini tidak terbukti.

Kalau memang dianggap bahwa bisa memberikan efek jera dalam hal kasus narkotika, harusnya setiap tahun kasus-kasus narkotika di Indonesia itu sudah turun, sudah berkurang. Tapi kan, terus terjadi, kasus-kasus narkotika. Jadi makanya, kalau kami menganggap, dan ini bukan pendapat pribadi, tapi memang penelitian membuktikan bahwa efek jera itu sebenarnya hanya mitos.

Jumlah orang yang ada di death row yang ada di Indonesia?

Death row itu kalau data per tahun 2024 lalu itu ada sekitar 500 lebih. Menunggu eksekusi mati. Itu yang hukumannya sudah final dan binding. Belum yang baru divonis dan masih menjalani proses PK dan segala macam, itu ada sekitar 500an.

Apa dampak pemberian amnesty?

Jadi Amnesty International tuh menganggap hukuman mati tuh melanggar dua hak dasar. Yang pertama hak untuk hidup, kedua, hak untuk bebas dari penyiksaan. Dan penghukuman yang tidak manusiawi. Jadi, eksekusi matinya sendiri tuh sebenarnya melanggar hak untuk hidup. Dan proses menunggunya ini orang mengalami penyiksaan secara mental dalam menunggu hukuman mati. ‘Kapan saya dihukum mati?’. Apalagi dengan tidak adanya moratorium resmi dari pemerintah. Ini mereka dalam masa tunggu tuh bisa jadi setiap malam berpikir, "Jangan-jangan besok". Itu udah penyiksaan secara mental yang kami sangat tentang dari Amnesty sendiri. Bahwa ini tidak hanya melanggar hak hidup, tapi juga hukuman mati merupakan bagian dari penyiksaan baik secara fisik maupun penyiksaan secara mental. Dan ketika hukuman mati dilaksanakan, otomatis melanggar dua hak ini. Hak dasar ini hak yang gak boleh dikurangin sebenarnya. Hak hidup.

Selain moratorium mungkin ada hal lain untuk mendorong terjadinya penghapusan?

Sebenarnya kalau dalam sikap politik itu bisa dilakukan komutasi terhadap mereka-mereka yang berada dalam death row. Khususnya mereka-mereka yang sudah menunggu lebih dari 10 tahun, itu bisa dilakukan review terhadap kasus-kasus mereka. Karena memang dalam beberapa kasus kita melihat kasus-kasus hukuman mati itu cenderung terpidana itu mengalami penyiksaan pada saat proses hukum. Jadi kasus-kasus seperti ini yang harus dilakukan review dan khususnya komutasi itu bisa difokuskan pertama sebagai langkah awal untuk mereka-mereka yang sudah menunggu lebih dari 10 tahun. Itu biar memberikan kepastian hukum terhadap mereka-mereka yang sudah divonis.

Bayangkan 10 tahun menunggu vonis mati seperti apa? Penyiksaan secara mental. Bukan hanya penyiksaan secara mental tapi keluarga. Keluarga terpidana pun juga tersiksa secara mental, kapan keluarganya bakalan dieksekusi. Dan juga eksekusi mati itu malah tidak memberikan keadilan tapi malah memberikan penderitaan bagi keluarga orang yang tereksekusi.

Apakah penghapusan dan tidaknya hukuman mati akan berdampak terhadap warga kita yang menunggu hukuman mati di negara lain?

Jadi untuk warga negara Indonesia yang terkena hukuman mati di luar negeri itu kalau gak salah kalau data terakhir dari Kemlu itu ada sekitar 150 (orang)-an. Jadi otomatis kampanye pemerintah Indonesia untuk membebaskan warganya untuk bebas dari jeratan hukuman mati itu akan tersandung jika pemerintah Indonesia sendiri masih melaksanakan hukuman mati. Jadi bakalan sangat gampang dibantah oleh negara yang ditujukan, jika Indonesia berdiplomasi ingin membebaskan warganya, sedangkan di sisi lain, kamu sendiri belum menghapuskan hukuman mati. Jadi, sebenarnya penghapusan hukuman mati di Indonesia itu bisa mengurangi beban pemerintah Indonesia dalam hal melakukan diplomasi untuk membebaskan warga negara Indonesia yang terjerat hukuman mati di luar negeri yang jumlahnya ada sekitar 150 orang lebih.

Dengan begitu kita lebih mudah berbicara. ‘Jangan dong dieksekusi mati’ kalau seumpama hukuman mati masih ada, gampang dibalikin, "Kamu sendiri masih hukuman mati, sekarang kamu minta wargamu tidak dihukum mati." Jadi akan ada beban bagi pemerintah Indonesia jika hukuman mati masih terus dilaksanakan. Dan pada saat yang sama, mereka juga meminta warganya untuk tidak dihukum mati di luar negeri.

Berapa negara yang sudah menghapus hukuman mati?

Angka terakhir itu per 2024 itu ada sekitar 113 negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi sudah mayoritas negara-negara di dunia. Makanya Amnesty menganggap bahwa negara-negara yang masih menghapuskan hukuman mati, ini adalah negara-negara yang terisolasi. Jadi, mereka minoritas jumlahnya. Jadi, tren global sekarang itu menuju penghapusan. Jadi apakah Indonesia mau masuk dalam kategori negara-negara yang terisolasi tersebut, atau mau mengikuti tren global, untuk mengikuti perkembangan dunia, dalam penghapusan hukuman mati? Dan saya rasa kita ada modalnya dari statement Presiden kemarin, bahwa kita ada modal di mana Indonesia bisa menghapuskan hukuman mati. Karena kepala negaranya punya sikap tidak setuju terhadap hukuman mati. Itu modal penting.

Rekomendasi bacaan atau buku sebagai rujukan terkait amnesty?

Sebenarnya Amnesty itu sangat aktif melakukan kampanye-kampanye hukuman mati. Dalam bentuk diskusi publik, dalam bentuk film, dan itu setiap tahunnya kita lakukan. Mungkin bisa ke website Amnesty itu banyak bahan-bahan kampanye anti hukuman mati. Dan itu sangat efektif di negara-negara seperti Mongolia, yang akhirnya menghapuskan hukuman mati. Dan setiap tahunnyapun, kita itu mengeluarkan laporan mengenai situasi global, yang kita luncurkan pada Selasa kemarin itu. Di situ terdapat informasi-informasi penting. Kenapa dan mengapa hukuman mati masih dilaksanakan di negara A? Kenapa tidak di negara B? Jadi itu berisi analisis-analisis global mengenai situasi hukuman mati di dunia. Itu bisa dibaca di Laporan Amnesty Internasional.

Pesan dan harapan Amnesty International?

Mungkin pesan-pesannya itu lebih kepada, ini dalam bentuk rethorical question. Apakah kita masih mau tetap mendukung penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi? Ini rethorical question buat generasi muda. Apakah kita masih mau mendukung hukuman yang sebenarnya dari cikal bakalnya itu sudah diskriminatif pada saat zaman kolonial? Apakah kita mau melanjutkan legasi itu? Dan saya rasa, kalau kita punya akal sehat yang bagus, jawabannya adalah tidak. Jadi, inilah saatnya warga negara Indonesia punya pemahaman yang bagus mengenai hukuman mati dan mengutip kata-kata dari Presiden Mongolia tadi, ‘Jika negara saya bisa, masa negaramu tidak’.

Posting Komentar untuk ""Negara yang Masih Pakai Hukuman Mati adalah Negara Terisolasi""