TUHAN MENGHENDAKI KITA BERUBAH KEJADIAN 3:1-19
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
renungan pagi klasis tub-tubaba
TUHAN MENGHENDAKI KITA BERUBAH
KEJADIAN 3:1-19
Bapak/Ibu/Saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus, pernahkah saudara mendengar ungkapan yang mengatakan
bahwa “dosa akan memperanakkan dosa atau kebohongan akan menghasilkan
kebohongan?” Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan sikap orang yang
bersalah yang biasanya akan berusaha membela diri atas kesalahannya dan justru
ketika berusaha menutupi kesalahan tersebut dengan dalil-dalilnya, yang
dihasilkan adalah kesalahan-kesalahan yang baru. Demikian juga orang yang gemar
berbohong biasanya akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang
lainnya.
Perikop
bacaan kita hari ini mengisahkan peristiwa tentang kejatuhan manusia dalam dosa
yang digambarkan dengan pasangan suami istri pertama yang hidup di Taman Eden.
Mereka hidup bersama dengan segala perintah dan peraturan yang sudah diberikan
Tuhan. Salah satu perintah yang diketahui oleh mereka adalah, “Jangan kamu
makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej.3:3).
Namun dengan
kecerdikan ular yang sangat hebat – ia menggunakan kata-kata yang membuat nalar
perempuan di taman itu tergoda, ia memutar-balikkan fakta, seolah-olah Allah
menyembunyikan sesuatu terhadap larangan yang dibuat-Nya kepada manusia bahwa
manusia akan menjadi seperti Allah bila memakan buah terlarang tersebut –
perempuan itu – melalui pandangan dan hatinya – tergoda oleh sesuatu yang indah
dan akan memberinya pengertian. Maka diambilnyalah buah tersebut, dan
dimakannya. Tidak sendiri, buah itu juga diberikannya juga kepada suaminya. Dan
suami tercintanya tanpa berpikir akan larangan yang diketahuinya itu, ia pun
memakannya. Mata mereka berdua terbuka, dan mereka menyadari bahwa mereka
telanjang!
Tatkala
pasangan manusia di Taman Eden itu menyadari telah berbuat tidak taat, Allah
hadir. Namun yang disayangkan adalah ketika mereka mendengar langkah-langkah
Allah, bukannya menyambut, mereka justru bersembunyi, bahkan ketika Allah
menyapa mereka, “Dimanakah engkau?” Mereka memberi dalih atau alasan mengapa mereka
bersembunyi! Lebih “parah” lagi bukannya saling menyadari dan meminta
pengampunan di saat Allah mengklarifikasi tentang pengakuan ketelanjangan dan
ketidaktaatan mereka akan peraturan di Taman Eden, mereka justru saling
menyalahkan. Adam menyalahkan Hawa isterinya, dan Hawa menyalahkan ular.
Bapak,
Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, lalu siapa yang dipersalahkan dalam kisah
klasik ini? Tentu kesalahan tidak boleh semata-mata dijatuhkan pada pihak si
ular sang penggoda. Kesalahan juga harus dibebankan pada manusia pertama.
Karena mereka berdua telah menerima firman dari TUHAN Allah yang sangat jelas
dan tegas (Kej. 2:17)? Seharusnya mereka tidak membiarkankan firman Tuhan yang
telah dipelintir dan dimanipulasi oleh si ular (1, 4-5) merasuki pikiran dan hati
mereka (6). Lebih lanjut lagi, ketika mereka sadar akan kejatuhan yang menerpa
mereka (7), seharusnya mereka mengaku kesalahan dan bertobat meminta
pengampunan kepada Allah. Karena itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan
belas kasih dan pengampunan Allah. Namun sayangnya, bukannya mereka mengaku
dosa, malah justru mempersalahkan pihak lain (12-13).
Allah
dalam keadilan-Nya, kemudian memang menghukum keras ular si penggoda dan si
pelanggar firman. Ular, perempuan, dan manusia pertama masing-masing harus
menerima konsekuensi akibat dosa yang mereka perbuat. Namun tujuan Allah
memberi penghukuman bukan sekadar supaya berefek jera, melainkan supaya manusia
memiliki pengharapan akan kelepasan sempurna. Manusia dituntut memercayakan
diri sepenuhnya kepada Tuhan. Akan datang waktunya, efek kejahatan yang menimpa
mereka turun temurun karena ulah si jahat akan disingkirkan sekali untuk
selamanya (15).
Bapak,
Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kisah
klasik ini – dimana saling menyalahkan, menutupi kesalahan dan sulit berubah
kepada pembaharuan hidup atau pertobatan – sering terjadi pada manusia. Kita,
umat manusia, secara khusus anggota jemaat GKSBS, pernah mengalaminya. Kita
mengetahui bahwa jika melalui kata-kata yang tidak baik, diskriminatif,
rasialis, memfitnah, “ngrasani” akan mendukakan hati atau membuat orang
lain kecewa dan marah bahkan menghasilkan perpecahan. Tindakan kita yang kadang
tidak menggambarkan murid Kristus sehingga menjadi batu sandungan bagi orang
lain.
Terhadap alam, kita sebagai umat Tuhan di Sumatera Bagian Selatan
menjadi bagian penyebab kerusakan lingkungan dan ekosistem. Sering kesadaran
kita tidak membawa perubahan bahwa penggunaan pestisida secara berlebihan oleh
kita yang sebagian besar adalah petani telah merusak alam secara massif. Hutan
yang seharusnya menjadi paru-paru dunia dan menjadi penjaga keseimbangan air
dirambah dan dieksploitasi secara berlebihan yang menyebabkan erosi, banjir dan
penyumbang pemanasan global. Dan perilaku konsumtif manusia lainnya adalah
penangkapan binatang liar untuk dikonsumsi secara berlebihan; telah merusak
ekosistem yang ada.
Terhadap perilaku tidak taat akan berbagai kaidah-kaidah dan aturan
kehidupan, kita dan GKSBS sudah menerima berbagai dampak yang nyata. Ada
pergumulan dan konflik antar pribadi, konflik dan perpecahan dalam jemaat,
konflik dan perpecahan dalam masyarakat. Alampun semakin tidak bersahabat
dengan kita. Bencana dimana-mana, biaya produksi semakin tidak seimbang dengan
hasil yang diniikmati dialami oleh petani. Berbagai dampak tersebut adalah
bagian dari sapaan Tuhan. Tuhan menghendaki kita untuk berubah. Mengakui
berbagai kesalahan dan berbalik menuju pembaharuan hidup. Tidak terus menerus
berdalih, saling menyalahkan dan menghidupi praktik hidup yang tidak benar.
Sapaan Allah yang ramah dengan peristiwa-peristiwa yang sederhana, biarlah
membawa kita memasuki Masa Pra Paska kepada perubahan-perubahan, membawa kita
kepada pertobatan untuk menerima pengampunan dari-Nya. Selamat Merayakan Rabu
Abu, selamat merayakan pertobatan dan pengampunan. Amin.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar