"Berdiakonia Transformatif." LUKAS 5:27-32. Pdt. Rekso Darmojo

Gambar
  Shalom, selamat pagi, saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus. Selamat berjumpa dalam renungan hari ini.      Pada saat ini kita akan membaca dan merenungkan firman Tuhan.Dan sebelumnya mari kita berdoa.Ya Tuhan Allah Bapak di surga, sumber segala berkat,kami datang kepadamu mengucap syukur atas segala berkat Tuhan.Pada saat ini kami akan merenungkan sebagian dari firman Tuhan.Kiranya roh kudus menerang hibatin kami dan menjadikan kami pelaku-pelaku firman yang sejati.Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Amin.Firman Tuhan yang akan kita baca dan kita renungkan saat ini,saya ambilkan dari Injil Lukas 5;27-32 Dan ayat yang kita baca ayat 31:32. Demikian firman Tuhan. "Lalu jawab Yesus kepada mereka katanya,Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.Aku datang bukan untuk memanggil orang benar,tetapi orang berdosa supaya mereka bertobat." Pembacaan firman Tuhan dan tema renungan kita hari ini adalah "Berdiakonia Transformatif."     

Ibadah Jum'at Agung GKSBS GEDUNG Aji.


 Khotbah: Pdt. Yosafat Anang Wijokangko.S.Th.

Ibrani 10:16-25.

Jumat, 7 April 2023

Warna Liturgi : Merah

Jumat Agung


KEMATIAN TUHAN YESUS SEBAGAI TANDA KERAMAHAN ALLAH

IBRANI 10 : 16-25

Shalom bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, pada ibadah Jumat Agung tahun ini, kita diajak untuk merenungkan/merefleksikan kembali makna kematian Tuhan Yesus bagi kehidupan kita bersama. Namun seperti yang sudah kita ketahui, ibadah Jumat Agung kali ini, kita peringati pada masa MPPP yang bertemakan keramahan/hospitalitas. Jadi ada dua hal yang akan menjadi perenungan kita; pertama, peristiwa kematian Tuhan Yesus Kristus; dan kedua, yaitu keramahan/hospitalitas. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memahami kematian Tuhan Yesus dalam hubungannya dengan keramahan/hospitalitas? Apakah kematian Tuhan Yesus Kristus sebagai tanda keramahan Allah? Dan Bagaimana merespon keramahan Tuhan Allah itu?

Untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama-tama, kita perlu mendalami bacaan kita saat ini kemudian merefleksikan salah satu bentuk keramahan dalam hidup sehari-hari.

Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, bila kita melihat bacaan kita, pada ayat 11-18, ayat-ayat tersebut merupakan penjelasan bahwa Yesus yang telah mati itu adalah korban penebusan dosa yang sangat istimewa. Yesus sebagai korban penebusan dosa berbeda dengan korban-korban yang biasa dipersembahkan oleh imam-imam di Bait Allah. Bila imam-imam mempersembahkan korban berulang kali untuk penebusan dosa (ayat 11), maka Yesus adalah korban yang hanya satu kali dipersembahkan untuk penebusan dosa (ayat 12, 18). “Satu kali saja Yesus dikorbankan, itu sudah cukup!”, kata penulis surat Ibrani. Kenapa? Karena Yesus telah menyempurnakan kita semua untuk selama-lamanya melalui kematian-Nya (ayat 14). Tetapi sekalipun Yesus adalah suatu korban penebusan dosa, pada saat yang sama, Ia juga adalah Sang Pengada Pengorbanan (pihak yang mengorbankan). Ia disebut sebagai Imam Besar (ayat 21). Apa artinya itu?

Bapak ibu saudara-saudari, salah satu tugas Imam Besar adalah mengadakan persembahan korban penebusan dosa di Bait Allah. Pada ayat 21 ini disebutkan bahwa Tuhan Yesus adalah Sang Imam Besar itu (Bdk Ibrani 9:11a). Artinya, Allah sendirilah (Tuhan Yesus) yang mengadakan pengorbananan penebusan dosa.

Sampai titik ini, kita bisa memaknai bahwa kematian Tuhan Yesus adalah suatu korban penebusan dan di saat yang sama, Tuhan Yesus sendiri jugalah yang mengadakan pengorbanan penebusan dosa itu.

Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, bicara tentang tanda keramahaman dalam kehidupan kita sehari-hari memang ada banyak bentuknya. Salah satu diantaranya terletak pada suguhan jamuan. Bila kita bertamu ke rumah seseorang, biasanya tuan rumah memberikan jamuan/suguhan kepada yang bertamu. Bukankah begitu bapak ibu? Walaupun, sebenarnya ketika ada tamu, kita tidak diwajibkan menyuguhkan sesuatu, bila memang benar-benar kita tidak memilikinya.

(Pengkhotbah boleh juga menyampaikan cerita pengalaman tentang kebiasan setempat ketika menjamu tamu).

Di lingkup klasis Pugungrahajo misalnya, sewaktu saya berkunjung (dolan) ke rumah kolega Pendeta, majelis jemaat ataupun ke warga jemaat, umumnya ada suguhan yang dihidangkan di depan meja. Suguhan pasti komplit. Maksudnya komplit adalah tidak hanya minuman tetapi juga ada hidangan pendamping, seperti pisang goreng, kue dsb. Ini adalah salah satu bentuk keramahaman budaya kita.

Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, lalu seperti apakah hubungan kematian Tuhan Yesus dengan keramahan? Kematian Tuhan Yesus bisa diibaratkan seperti jamuan/suguhan yang biasa kita hidangkan. Mengapa? Karena Tuhan Yesus melalui kematian-Nya, Ia memberikan dirinya untuk kita. Pengorbanan-Nya itu adalah bentuk jamuan Allah. Tetapi bentuk jamuan dari Tuhan Allah berbeda dengan jamuan yang biasa kita berikan kepada tamu. Jamuan Tuhan adalah dirinya sendiri sedangkan jamuan kita adalah camilan, bukan diri kita.

Bagaimana merespon keramahan Tuhan Allah itu? Penulis surat Ibrani setelah menjelaskan kematian Tuhan Yesus sebagai korban penebusan yang sangat istimewa (ayat 11-18), ia kemudian memberikan beberapa petunjuk hidup baru kepada pembaca suratnya. Saya kira, ini jugalah yang seyogyanya kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, yakni:

1.      Berani datang kepada Allah

Katanya di ayat 19, “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus”. Berani datang kepada Allah. Kenapa penuh berani?  Ya, Karena dosa-dosa kita telah ditebus melalui darahNya. Yesus adalah “jalan yang baru dan yang hidup” bagi kita yang berdosa (ayat 20). Sehingga kita tidak perlu takut untuk datang kepada Tuhan Allah.  (Pengkhotbah dipersilahkan menceritakan contoh yang lain)

Bapak ibu saudara-saudari, orang yang takut biasanya tidak pernah sampai pada tujuan yang ia cita-citakan. Misalnya, kita punya rencana pergi ke Jakarta untuk bertemu keluarga tetapi kita takut pergi ke sana karena di Jakarta banyak kejahatan. Akhirnya, impian bertemu keluarga di Jakarta pun tidak terwujud.

2.      Berhati tulus ikhlas, beriman, saling memperhatikan dan dekat dengan pertemuan-pertemuan ibadah.

Selain berani datang kepada Allah (ayat19), petunjuk hidup baru selanjutnya yang penulis ibrani berikan adalah marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh (ayat 22a). Dikatakan pada ayat 22b -25 bahwa hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman adalah tanda bahwa diri kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat (ayat 22b). Tidak hanya hati, bahkan tubuh kita pun telah dibasuh oleh kematian Tuhan Yesus (ayat 22b).  Dengan keadaan baru yang telah diterima ini maka kita teguh pada pengharapan akan janji setia Tuhan (ayat 23), saling memperhatikan dalam kasih (ayat 24) dan mendekatkan diri pada pertemuan-pertemuan ibadah (25)

Bapak ibu saudara-saudari, dari ayat-ayat ini, kita juga belajar bahwa kemurnian hati dan keyakinan iman adalah modal berelasi, baik itu dengan Tuhan maupun dengan sesama. Adalah sesuatu yang menyusahkan bila suatu relasi entah itu di lingkup keluarga, gereja, maupun masyarakat didasarkan pada hati jahat. 

Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, semua perbuatan diatas adalah respon kita terhadap keramahan Allah. Maka marilah kita upayakan kehidupan kita seturut firman yang telah kita baca dan renungkan hari ini. Kiranya peristiwa Kematian Tuhan Yesus meneguhkan betapa besar Kasih-Nya kepada kita dan membuat kita semakin mengasihi-Nya. Amin. 


sumber dari:https://gksbs.org 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renungan Hari ini GKSBS Gedung Aji.Matius 26:17.SETIA MENGIKUT YESUS DALAM KEADAAN YANG SULIT

RENUNGAN HARI INI. AYUB 1:1-22. TETAP BERSYUKUR DI TENGAH UJIAN

Belajar Mengampuni. Renungan Fajar. Lukas 6:27-36. Kasihilah musuhmu